Parkir di Hutan Kota: Ketika Ruang Publik Mulai Bertarif, Rakyat Dipaksa Bayar Nafasnya Sendiri

by : Ujang Supriyanto
Ketua Simpul Babel
Sungailiat,Viralperistiwa.com-Hutan Kota Sungailiat, yang seharusnya menjadi ruang terbuka hijau gratis dan nyaman bagi warga, kini berubah arah. Sebuah keputusan yang seolah menampar logika publik: parkir di kawasan ini akan berbayar.
Bayangkan, ruang publik yang dibangun dari pajak rakyat, kini justru membebani rakyat itu sendiri. Ketika warga hanya ingin menikmati udara segar, duduk bersama keluarga, atau sekadar melepas penat tanpa biaya, kini mereka harus berpikir dua kali — bukan karena tak butuh, tapi karena harus bayar untuk diam dan parkir di tanah sendiri.
Ini bukan sekadar soal pungutan parkir. Ini tentang filosofi ruang publik yang mulai ternoda oleh logika ekonomi instan. Ruang publik yang idealnya inklusif dan ramah, kini terasa seperti perangkap komersial yang diam-diam menjebak warga kecil.
Alih-alih menggali potensi PAD dari sektor kreatif, wisata tematik, atau inovasi pelayanan publik, pemerintah justru memilih jalan pintas: tarifkan ruang hidup rakyat!
Apakah ini solusi? Atau cerminan dari kemalasan berpikir dan ketidakpekaan terhadap kebutuhan sosial?
Hutan Kota bukan lahan parkir, ia adalah simbol ruang hidup bersama. Saat tempat itu mulai dikomersialkan, kita patut bertanya:
Ruang siapa yang sedang dibatasi? Untuk kepentingan siapa sebenarnya tarif itu diberlakukan?
Ini bukan soal tarif lima ribu perak. Ini soal prinsip — bahwa warga seharusnya tidak perlu membayar untuk sekadar menghirup udara dan merasa menjadi bagian dari kota mereka sendiri.
Jika PAD jadi alasan, gali dari sektor yang memang pantas digali: optimalisasi aset tidur, pajak hiburan, atau sistem digitalisasi retribusi pasar. Jangan jadikan rakyat yang ingin “menghirup sejenak hidup” sebagai sasaran empuk kebijakan setengah pikir.
Karena kalau sampai rakyat harus bayar untuk hidup tenang, maka yang miskin bukan dompet mereka — tapi imajinasi para pemimpinnya.